About

Selasa, 24 Maret 2015

ISRA’ MI’RAJ (Sebuah Ibrah ataukah Formalisme Ritualitas Keagamaan)


Barangkali, bagi komunitas muslim sejagad, khususnya muslim nusantara, suatu yang tidak terlewatkan dalam setiap bulan Rajab adalah peringatan momen Isra’ Mi’raj. Peristiwa besar yang direkam oleh kitab suci al- Qur’an itu seolah telah berakulturasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan ‘ritualitas’ keberagamaan muslim Indonesia.  Sehingga, riuh bulan Rajab selalu sejoli dengan momentum perayaan Isra’ Mi’raj yang diyakini terjadi pada tanggal 27 Rajab.
Walaupun, tidak semua pendapat menyatakan peristiwa Isra dan Mi’rajnya Rasulullah Muhammad saw itu jatuh pada waktu tersebut, karena Ibn Ishaq al-Harbiy berpendapat bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rabi al-Akhir, setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah. Seremonialisasi berbagai peristiwa sejarah keagamaan, khusunya Isra’ Mi’raj, akhirnya hanya sebatas ritual budaya yang seolah terjebak oleh kungkungan cerita waktu dan tempat kejadian suatu peristiwa itu semata.
Akibatnya, penterjemahan peristiwa sejarah tersebut terjebak dalam rutinitas yang tidak jarang lari dari maksud dan tujuan sebenarnya mengapa peristiwa itu diciptakan dan dicatat oleh Allah di dalam kitab suci-Nya. Penterjemahan peristiwa Isra’ Mi’raj semacam itu, akhirya juga terperangkap dalam pola keberagamaan yang formalistik, yang cenderung abai terhadap substansi dan orientasi ajaran agama itu sendiri. Sehingga seolah-olah, bulan Rajab hanya sebatas ruang pengulangan cerita tentang apa yang dialami dan ditemukan oleh Rasulullah dalam perjalanan mu’jizat besarnya itu. Jeratan formalisme keberagamaan inilah yang kemudian menjadi anomalik dan bahkan simalakama, yang membuat kualitas beragama umat tidak pernah terukur dengan baik.
Bahkan, formalisme keberagamaan cenderung menjadi senjata yang memangsa umatnya sendiri. Dari statement ini, tentu menjadi sangatlah relevan, jika dipertanyakan, sejauh manakah kualitas keberagamaan umat dengan rutinnya perayaaan hari besar keagamaan itu? adakah peringatan dan perayaan hari besar tersebut memberi kontribusi terhadap pemahaman umat terhadap ajaran agamanya, sehingga mampu direalisasikan dalam semua lini kehidupan? Apakah juga perayaan yang dilakukan secara rutin setiap tahun itu sudah benar adanya, dan sudah sesuai adanya dengan ajaran Islam yang kita anut ini. Ataukah, adanya  perayaan Isra’ Mi’raj ini adalah bagian dari ritual taklid buta dan kapitalisme pragmatis.

Dari sini, muncul sebuah pertanyaan besar yang patut kita renungkan bersama, apa makna haqiqi dari Isra’ Mi’raj bagi umat Islam. Dan apakah penterjemahan peristiwa Isra’ Mi’raj ini hanya sebatas dengan perayaan besar-besaran yang belum jelas dalil dan tuntunan syar’inya. Kemudian sejauh manakah setiap individu muslim mampu mengartikulasikan ajaran yang terkandung dalam peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut. Sudahkah para eksekutor negara, wakil rakyat, kaum intelektual, ekonom, tenaga pendidik maupun rakyat, menjadikan kandungan hikmah peristiwa Isra dan Mi’raj sebagai standar evaluasi keberagamaan, baik personal maupun secara kolektif. Segala pertanyaan tadi terasa sangat serius, mengingat, jebakan formalisme perayaan hari besar keagamaan Islam, khususnya Isra’ Mi’raj, tidak akan mengantarkan umat kepada izzahnya sesuai cita sejarah. Dengan demikian, semua peristiwa agung itu hanya sebatas cerita rutin yang miskin misi, menguras energi dan krisis orientasi. Jika itu yang terjadi, maka perayaan tahun berikutnya hanya pesta umat di atas nisan kuburan kemajuan peradaban mereka sendiri yang tiada manfaat dan sia-sia.{Sy}

0 komentar:

Posting Komentar