Barangkali,
bagi komunitas muslim sejagad, khususnya muslim nusantara, suatu yang tidak
terlewatkan dalam setiap bulan Rajab adalah peringatan momen Isra’ Mi’raj. Peristiwa
besar yang direkam oleh kitab suci al- Qur’an itu seolah telah berakulturasi
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan ‘ritualitas’ keberagamaan
muslim Indonesia. Sehingga, riuh bulan
Rajab selalu sejoli dengan momentum perayaan Isra’ Mi’raj yang diyakini terjadi
pada tanggal 27 Rajab.
Walaupun,
tidak semua pendapat menyatakan peristiwa Isra dan Mi’rajnya Rasulullah
Muhammad saw itu jatuh pada waktu tersebut, karena Ibn Ishaq al-Harbiy
berpendapat bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rabi al-Akhir, setahun
sebelum Hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah. Seremonialisasi berbagai peristiwa
sejarah keagamaan, khusunya Isra’ Mi’raj, akhirnya hanya sebatas ritual budaya
yang seolah terjebak oleh kungkungan cerita waktu dan tempat kejadian suatu
peristiwa itu semata.
Akibatnya,
penterjemahan peristiwa sejarah tersebut terjebak dalam rutinitas yang tidak
jarang lari dari maksud dan tujuan sebenarnya mengapa peristiwa itu diciptakan
dan dicatat oleh Allah di dalam kitab suci-Nya. Penterjemahan peristiwa Isra’
Mi’raj semacam itu, akhirya juga terperangkap dalam pola keberagamaan yang
formalistik, yang cenderung abai terhadap substansi dan orientasi ajaran agama
itu sendiri. Sehingga seolah-olah, bulan Rajab hanya sebatas ruang pengulangan
cerita tentang apa yang dialami dan ditemukan oleh Rasulullah dalam perjalanan
mu’jizat besarnya itu. Jeratan formalisme keberagamaan inilah yang kemudian
menjadi anomalik dan bahkan simalakama, yang membuat kualitas beragama umat
tidak pernah terukur dengan baik.
Bahkan,
formalisme keberagamaan cenderung menjadi senjata yang memangsa umatnya
sendiri. Dari statement ini, tentu menjadi sangatlah relevan, jika
dipertanyakan, sejauh manakah kualitas keberagamaan umat dengan rutinnya
perayaaan hari besar keagamaan itu? adakah peringatan dan perayaan hari besar
tersebut memberi kontribusi terhadap pemahaman umat terhadap ajaran agamanya,
sehingga mampu direalisasikan dalam semua lini kehidupan? Apakah juga perayaan
yang dilakukan secara rutin setiap tahun itu sudah benar adanya, dan sudah sesuai
adanya dengan ajaran Islam yang kita anut ini. Ataukah, adanya perayaan Isra’ Mi’raj ini adalah bagian dari
ritual taklid buta dan kapitalisme pragmatis.
Dari
sini, muncul sebuah pertanyaan besar yang patut kita renungkan bersama, apa makna
haqiqi dari Isra’ Mi’raj bagi umat Islam. Dan apakah penterjemahan peristiwa
Isra’ Mi’raj ini hanya sebatas dengan perayaan besar-besaran yang belum jelas
dalil dan tuntunan syar’inya. Kemudian sejauh manakah setiap individu muslim
mampu mengartikulasikan ajaran yang terkandung dalam peristiwa Isra’ Mi’raj
tersebut. Sudahkah para eksekutor negara, wakil rakyat, kaum intelektual,
ekonom, tenaga pendidik maupun rakyat, menjadikan kandungan hikmah peristiwa
Isra dan Mi’raj sebagai standar evaluasi keberagamaan, baik personal maupun
secara kolektif. Segala pertanyaan tadi terasa sangat serius, mengingat,
jebakan formalisme perayaan hari besar keagamaan Islam, khususnya Isra’ Mi’raj,
tidak akan mengantarkan umat kepada izzahnya sesuai cita sejarah. Dengan
demikian, semua peristiwa agung itu hanya sebatas cerita rutin yang miskin
misi, menguras energi dan krisis orientasi. Jika itu yang terjadi, maka
perayaan tahun berikutnya hanya pesta umat di atas nisan kuburan kemajuan
peradaban mereka sendiri yang tiada manfaat dan sia-sia.{Sy}